Konsili Nicea pertama diadakan atas desakan Konstantinus I (Kaisar
Romawi Konstantinus Agung yang berkuasa dari 306 sampai 337)
berlandaskan rekomendasi-rekomendasi dari sebuah sinode yang
dipimpin Hosius dari Cordoba pada masa Paskah tahun 325 M.,
Konsili ini merupakan Konsili Ekumenis yang pertama dari Gereja
Kristiani, tujuan utamanya adalah untuk menetapkan keseragaman dalam
doktrin Kristiani, yang disebut Kredo Nicea.
Dengan diciptakannya kredo ini, terbentuk suatu preseden bagi
konsili-konsili umum (ekumenis) para uskup (sinode-sinode) sehingga
diharapkan dapat menciptakan pokok-pokok pernyataan iman/keyakinan
secara bulat dan juga terhadap kanon-kanon ortodoksi doktrinal agar
terwujudnya kesatuan iman bagi seluruh umat Kristiani.
Sinode ini bertugas menginvestigasi permasalahan yang muncul akibat
kontroversi Arianisme (faham yang menyatakan Yesus sebagai manusia bukan
tuhan) di kawasan Timur yang berbahasa Yunani. Bagi kebanyakan uskup,
ajaran-ajaran Arius adalah bida’ah dan berbahaya bagi keselamatan
jiwa-jiwa, maka pada musim panas tahun 325 M, para uskup dari seluruh
provinsi dipanggil ke Nicea (kini dikenal dengan nama İznik, di negara
Turki modern) .
Konsili Nicea ini diadakan atas prakarsa Kaisar Romawi kala itu yakni
Konstantinus Agung dan resmi dibuka pada 20 Mei tahun 325 M, dan inti
utamanya adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dalam Gereja
Aleksandria mengenai hakikat Yesus dalam hubungannya dengan Sang Bapa;
khususnya, mengenai pendapat:
apakah Yesus memiliki substansi yang sama dengan Allah Bapa,
ataukah sekadar memiliki substansi yang serupa belaka dengan Allah Bapa.
St. Aleksander dari Aleksandria dan Athanasius berpegang pada
pendapat yang pertama; sedangkan seorang presbiter/Imam terkenal
bernama Arius dan dari namanya inilah muncul istilah Arianisme, dimana
ia berpegang pada pendapat yang kedua.
Konsili memutuskan bahwa pendukung Arius telah keliru (dari kira-kira
250-318 peserta, seluruhnya kecuali 2 orang, memberi suara menentang
Arius).
Kontroversi Arian adalah pertentangan Kristologis yang timbul
di Aleksandria antara para pengikut Arius (kaum Arian) dan para
pengikut Santo Aleksander dari Aleksandria (kini disebut
kaum Homoousian).
Aleksander dan para pengikutnya meyakini bahwa Sang Putera
memilki substansi yang sama dengan Sang Bapa, abadi bersama Sang Bapa.
Kaum Arian meyakini bahwa Sang Bapa dan sang putera itu berbeda dari
sang putera itu, sekalipun mungkin adalah makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna, tetaplah suatu ciptaan belaka .
Arian menyatakan pula: Tuhan tak bisa mati, meski dalam bentuk
apapun, kecuali hanya berpura-pura mati. Arian menarik dari Alkitab,
mengutip ayat-ayat seperti Yohanes 14:28: “Bapa lebih besar daripada
aku”, dan juga Kolose 1:15: “Sulung dari semua ciptaan”. Dosa melanggar
perintah Tuhan tak bisa ditebus dengan dosa membunuh Tuhan, karena dosa
adalah urusan makhluk dengan Tuhannya. Iblis tak memiliki kuasa maut
atas manusia, sehingga mustahil tuhan mati dan merebut kunci maut yang
tak pernah dimiliki iblis.
Kaum Arian, di lain pihak, meyakini bahwa karena Allah Bapa
menciptakan Sang Putera, maka Sang Putera itu keluar dari Sang Bapa,
berarti lebih rendah dari Sang Bapa, Sang Bapa itu bersifat abadi, Sang
Putera diciptakan kemudian, jadi tidak bersifat abadi.
Akhirnya Sidang mengambil kesimpulan sendiri: konsili menyatakan
bahwa Sang Bapa dan Sang Putera memiliki substansi yang sama dan abadi
bersama-sama, dengan mendasarkan deklarasi tersebut pada klaim bahwa
inilah rumusan iman Kristiani tradisional yang diwariskan para Rasul.
Keyakinan ini diungkapkan dalam Kredo Nicea, Yesus Kristus digambarkan
sebagai “Allah dari Allah, Terang dari Terang:
Allah sejati dari Allah sejati”, yang menyatakan keillahianNya.
Walaupun semua terang bersumber dari alam, esensi dari terang itu
dianggap identik, apapun bentuknya.
Yesus Kristus dikatakan “diperanakkan, bukan dijadikan”, menyatakan
keabadianNya bersama Allah, dan menegaskannya dengan menyatakan
perananNya dalam Penciptaan.
Akhirnya, Yesus Kristus dikatakan “berasal dari substansi Sang Bapa,” yang bertentangan secara langsung dengan Arianisme.
(Beberapa orang menghubung-hubungkan istilah Konsubstansial, yakni,
“memiliki substansi yang sama” (dengan Sang Bapa), dengan Konstantinus
yang, untuk khusus untuk pokok bahasan ini, dapat memilih untuk
menerapkan wewenangnya).
Dari butir ke-3 hanya kalimat “dan akan Roh Kudus” yang tersisa;
Kredo Nicea asli diakhiri dengan kalimat ini, selanjutnya
diikuti kanon-kanon konsili.
Jadi, bukannya sebuah kredo-pembaptisan yang dapat diterima oleh baik
kubu homoousian maupun kubu Arian, sebagaimana yang diusulkan Eusebius,
konsili justru mengeluarkan kredo yang tidak rancu dalam aspek-aspek
yang menyentuh poin-poin yang dipertentangkan oleh kedua kubu, dan kredo
yang bertentangan dengan keyakinan kubu Arian.
Sedari dulu berbagai kredo dimanfaatkan sebagai sarana identifikasi
oleh umat Kristiani, sebagai sarana inklusi dan pengakuan, khususnya
pada pembaptisan. Di Roma misalnya, Kredo Para Rasul populer, khususnya
dilaksanakan pada acara masa Prapaskah dan masa Paskah. Dalam konsili
Nicea, satu kredo khusus digunakan untuk mendefinisikan iman Gereja
dengan jelas, agar dapat merangkul orang-orang yang mengimaninya, dan
untuk mendepak orang-orang yang tidak mengimaninya.
Naskah pernyataan iman ini dilestarikan didalam sepucuk surat dari
Eusebius kepada umatnya, dalam tulisan Atanasius, dan beberapa tulisan
lainnya. Sekalipun pihak anti-Arian yang paling lantang bersuara, yakni
kubu Homoousian (dari kata Bahasa Yunani Koine yang diterjemahkan
“substansi yang sama” yang dikutuk dalam Konsili Antiokhia pada
264-268), adalah minoritas, kredo tersebut diterima oleh konsili sebagai
sebuah pengungkapan iman bersama para uskup dan iman purba seluruh
Gereja.
Uskup Hosius dari Cordova, salah satu Homoousian gigih membantu untuk
menuntun konsili mencapai jalannya konsensus ini. Selama berlangsungnya
konsili, dia menjadi orang kepercayaan kaisar dalam hal segala perkara
Gereja. Nama Hosius tertera pada awal daftar nama para uskup, dan
Atanasius mengaitkan perumusan aktual dari kredo Nicea dengan Hosius.
Pemimpin-pemimpin besar seperti Eustathius dari Antiokhia, Aleksander
dari Aleksandria, Atanasius, dan Marcellus dari Ancyra semuanya sepakat
dengan pendapat kubu Homoousian.
Meskipun bersimpati pada Arius, Eusebius orang dalam kerajaan
menerima keputusan-keputusan konsili juga menerima isi keseluruhan
kredo. Para uskup pendukung Arius sejak awal kecil jumlahnya. Sesudah
sebulan berdiskusi, pada 19 Juni, hanya dua uskup yang tersisa: Theonas
dari Marmarica di Libya, dan Secundus dari Ptolemais. Maris dari
Khalsedon, yang mula-mula mendukung Arianisme, menyepakati keseluruhan
kredo. Eusebius dari Nikomedia dan Theognis dari Nice juga setuju,
kecuali untuk pernyataan-pernyataan tertentu.
Dari awal Kaisar menggenapi pernyataan dengan menekankan: barang siapa yang menolak kredo ini akan dihukum buang.
Arius, Theonas, dan Sekundus menolak menerima kredo tersebut, dan
oleh karena itu mereka dibuang ke pengasingan, selain diekskomunikasi,
karya-karya tulis Arius diperintahkan untuk disita dan dibakar.[19]
Meskipun demikian, kontroversi terlanjur ricuh yang berimbas ke berbagai
wilayah kekaisaran.*
Tentang Sejarah Konsili Nicea. Sedikit mengingat apa yang telah saya
sampaikan, Konsili Nicea adalah konsili yang mengundang 1800 utusan dari
gereja-gereja Barat dan Timur. Mereka yang hadir terdiri atas, 1000
orang yang berasal dari Gereja Timur dan 800 dari Gereja Barat.
Namun mayoritas undangan mempunyai pandangan yang sama dengan Arius,
yakni meyakini Yesus (Isa as) adalah seorang nabi, manusia biasa.
Akhirnya Konstantin mengusir keluar 1482 uskup dan tersisa 318 uskup yang boleh mengikuti persidangan. Dan dari 318 uskup tersebut hanya 2 orang pengikut Arius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar