بسم الله الرحمن الرحيم
[مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ]
Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir dan saling menyayangi di antara sesama mereka.
(QS al-Fath [48]: 29).
Tafsir Ayat:
Menurut al-Hâkim dan lain-lain dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwân bin al-Hakam, surat al-Fath ini mulai dari awal hingga akhir diturunkan antara Makkah dan Madinah dalam konteks perjanjian damai Hudaybiyyah.[1] Perjanjian ini kelak mengantarkan penaklukan kota Makkah dan tampilnya negara Islam sebagai adidaya baru di Jazirah Arab.
Agar dapat dipahami konteksnya, ayat ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yang dalam istilah ‘Ulûm al-Qur’ân disebut Munâsabât bayn al-âyah,yaitu ayat:
]هُوَ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا[
Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa kebenaran dan agama yang haq untuk memenangkannya atas agama-agama yang ada seluruhnya. Cukuplah Allah sebagai saksinya (QS al-Fath [48]: 28).
Dari sinilah frasa Muhammad[un] Rasûlullâh (Muhammad Rasulullah) dapat dipahami kedudukannya sebagai kalimat penjelas (jumlah mubayyinah) terhadap Rasul yang diutus oleh Allah dengan membawa hidayah dan agama yang haqq. Mengenai kata Muhammad[un] dalam ayat di atas, sebagian ulama tafsir mempunyai dua pandangan. Ada yang menyatakannya sebagai subyek (mubtada’), dengan kata Rasûlullâh merupakan predikat (khabar).[2] ada juga yang menyatakan, bahwa kata Muhammad[un] adalah subyek (mubtada’),Rasûlullâh adalah sifat subyek, sedangkan predikatnya adalah asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr.[3] Jika kita memilih pendapat yang pertama, konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah. Sebaliknya, jika pendapat kedua yang dipilih, konotasinya:Muhammad, Rasulullah.
Sementara itu, frasa walladzîna ma‘ah[u] (dan orang-orang yang bersamanya), dengan diawali huruf waw di depannya, ada yang menyatakan sebagai subyek kedua setelah subyek pertama, yaitu: Muhammad[un]; kemudian frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr—menurut pendapat ini—kedudukannya sebagai predikat kedua setelah predikat pertama, yakni kata Rasûlullâh. Namun, ada juga yang menyatakan, bahwa frasa walladzîna ma’ah[u] adalah ma‘thûf ‘alayh (frasa yang dihubungkan) dengan Muhammad[un] sehingga subyek dan predikatnya hanya satu, masing-masing adalah Muhammad[un] dan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika dipilih alternatif pertama, konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka. Jika pilihan kedua yang diambil, konotasinya: Muhammad, utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka.
Inilah hasil pembacaan terhadap struktur lafal yang berbeda dan implikasinya terhadap makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak membawa implikasi yang serius terhadap makna ayat di atas secara keseluruhan. Di sisi lain, as-Suyûthi, menjelaskan bahwa dinyatakannya: asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), menunjukkan keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan ketegasan dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap sesama Muslim). Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr(keras terhadap orang-orang kafir), tentu akan menimbulkan persepsi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang kasar. Karena itu, dengan dinyatakan, ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan tersebut hilang. Struktur seperti ini, persis seperti yang digunakan oleh Allah dalam ayat lain:
]أَذِلَّةٌ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ[
Yang bersikap lemah-lembut kepada orang Mukmin dan yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]: 54). [4]
Lalu apa maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (sangat keras terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (sangat mencintai sesama mereka) dalam ayat tersebut? Apakah ini hanya sifat Rasul dan para sahabatnya yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah saja atau bersifat umum meliputi karakter seluruh para sahabat?
Kata asyiddâ’ adalah bentuk plural non-jender (jamak taktsîr) dari kata syadîd(orang yang keras). Kata ruhamâ’ juga merupakan jamak taktsîr dari kata rahîm(orang yang mengasihi). Kebanyakan ahli tafsir, seperti al-Qurthubi dan as-Syaukani, menjelaskan konotasi dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr tersebut dengan menggunakan penafsiran Ibn ‘Abbâs, pakar tafsir, murid Rasulullah saw., yang menyatakan: ghilâdh[un] ‘alayhim ka al-asad[i] ‘alâ farîsatih[i] (keras terhadap mereka, bak singa terhadap mangsa buruannya).[5] Secara umum, as-Suyuthi, menjelaskan maksud frasa tersebut dan frasa berikutnya, bahwa mereka keras dan tegas terhadap siapa saja yang menyimpang dari agamanya, dan saling kasih-mengasihi di antara sesama mereka (Muslim).[6] Inilah maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr ruhamâ’ baynahum. Sebagian ahli tafsir, menyebutkan bahwa sifat tersebut merupakan sifat sahabat yang terlibat dalam kasus Hudaibiyah. Namun, pandangan ini dibantah oleh as-Syaukani, berdasarkan kaidah:
اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
Keumuman itu tetap berlaku sesuai dengan keumumannya selama tidak ada dalil pengkhusus yang dinyatakan (untuk mengkhususkannya).
Dari sini, beliau berpendapat, bahwa yang lebih tepat adalah menginterpretasikan makna umum sesuai dengan keumumannya.[7] Dengan demikian, sifat tersebut merupakan sifat seluruh sahabat Rasulullah saw.
Wacana Tafsir: Sikap Orang Mukmin Terhadap Orang-orang Kafir
Islam telah membedakan perlakuan orang Mukmin terhadap sesama Mukmin dengan perlakuan orang Mukmin terhadap orang Kafir. Mengenai yang terakhir ini, Islam telah membedakan perlakuan tersebut berdasarkan dua kategori orang kafir, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Quran:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian untuk menjadikan orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian sebagai kawan kalian. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al-Mumtahanah [60]: 8-9).
Namun demikian, Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir ahl adz-dzimmah (yaitu orang-orang kafir yang hidup sebagai rakyat Negara Islam dengan jaminan perlindungan dari negara) ataumu‘âhid (yaitu orang-orang kafir yang hidup sebagai rakyat negara kafir tetapi negaranya mempunyai perjanjian dengan Negara Islam). Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menjenguk orang Yahudi yang sakit, kemudian beliau duduk di atas kepalanya, seraya menyerukan agar dia memeluk Islam. Akhirnya, setelah bertanya kepada ayahnya, ayahnya menyuruhnya agar mengikuti apa dinyatakan oleh Rasul. Orang Yahudi itu pun akhirnya masuk Islam.[8]
»اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْقَذَهُ بِيْ مِنَ الناَّرِ »
Segala pujian milik Allah Yang telah menyelamatkannya melalui (tangan)-ku, dari (siksa) api neraka. (HR al-Bukhari dan Ahmad dari Anas).
Rasulullah saw. juga biasa memberikan sedekah kepada keluarga Yahudi yang tidak mampu memperoleh nafkahnya.[9] Para sahabat Rasulullah saw. juga telah turut mengantarkan jenazah Ummu al-Harits bin Rabi‘ah, seorang wanita Nasrani.[10]
Karena itu, konotasi kebolehan berbuat baik tersebut meliputi seluruh bentuk kebaikan (al-birr), yang secara umum diakui dan disukai, selama tidak bertentangan dengan syariat. Menebarkan salam, misalnya, adalah perkara yang disukai—sebagaimana Hadis Nabi, tetapi tidak boleh dilakukan terhadap orang kafir, secara mutlak. Dalam hal ini, syariat telah membolehkan orang Mukmin menjenguk orang kafir ahl adz-dzimmah; ta‘ziyah kepada mereka yang tertimpa musibah; mengucapkan selamat pada hari kelahiran anak mereka, pernikahan mereka, dan sebagainya, kecuali hari raya mereka; serta membantu mereka ketika kesusahan. Sementara itu, konotasi berlaku adil meliputi kewajiban orang Mukmin untuk memelihara dan menjamin hak, kehormatan, kemuliaan, dan harta serta kebolehan bergaul dengan mereka—meskipun tetap tidak menjadikan mereka sebagai teman setia. Dalam konteks inilah, para fukaha menyatakan kaidah syariat:
لَهُمْ مَا لَنَا مِنَ الإِنْصَافِ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا مِنَ الإِنْتِصَافِ
Mereka berhak mendapatkan persis seperti yang kami (kaum Muslim) dapatkan secara adil dan mereka diwajibkan untuk melindungi hak-hak mereka, sebagaimana halnya dengan (sikap pemerintahan) kaum Muslim, dengan adil.
Sebaliknya, berbuat baik dan berlaku adil kepada terhadap kafir ahl al-harb, yaitu orang-orang kafir yang menyerang dan memerangi kaum Muslimin dan agamanya, jelas dilarang. Sebab, sikap dan perlakuan yang harus ditunjukkan oleh orang Mukmin adalah sikap permusuhan dan sikap sombong, bukan ketundukan apalagi kepatuhan. Inilah yang dinyatakan dalam nash di atas:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ الله عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian untuk menjadikan orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian sebagai kawan kalian. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS al-Mumtahanah [60]: 9).
Dalam konteks inilah, Rasulullah saw. menyatakan:
أَنَا الضَّحُوْكُ القَتَّالُ
Saya adalah seorang penggembira (yang ahli membuat teman-teman dan orang yang setia kepadanya tertawa), dan (sekaligus) ahli perang (yang menakutkan musuh-musuhnya).[11]
Artinya, Rasulullah saw. adalah orang-orang yang bisa bersikap dhahûk(menyenangkan) bagi sesama Muslim, kawan dan orang yang memberikan loyalitasnya kepada Islam, sekaligus bersikap qattâl (ganas, garang, dan agresif) terhadap orang-orang kafir yang menentang ajaran Islam. Hadis ini mempertegas firman Allah Swt. yang menyatakan:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَة
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian (Jazirah Arab) itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari kalian. (QS at-Taubah [9]: 123).
Merekalah orang-orang yang tidak boleh diperlakukan manis, ramah, serta diangkat menjadi sahabat, apalagi sebagai pelindung keamanan dan keselamatan kaum Muslimin serta negeri-negeri mereka—sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa kaum Muslim saat ini terhadap Amerika, Inggris, dan Australia, misalnya. Tidak boleh ada perjanjian dengan mereka melebihi apa yang telah ditetapkan oleh Rasul dalam Perjanjian Hudaibiyah, yaitu 10 tahun, apalagi perjanjian selama-lamanya.
Wacana Tafsir: Sikap Orang Mukmin Terhadap Sesamanya
Sikap orang Mukmin kepada sesamanya adalah kebalikan sikap mereka terhadap orang-orang non-Muslim. Al-Quran menyatakan, bahwa mereka adalahruhamâ' baynahum (saling mengasihi dan menyayangi antarsesama mereka). Dalam konteks ini, Rasulullah saw. menggambarkan mereka:
«مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلَ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرَ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى»
Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal kasih-sayang, belas-kasihan dan simpati mereka adalah bagaikan satu tubuh; jika salah satu anggota (tubuh)-nya merintih, ia akan memanggil anggota (tubuh) yang lain, (tampak) melalui terjaga dan panas. (HR Muslim dari an-Nu‘man bin Basyir).
Inilah sikap yang dibangun oleh orang Mukmin dengan sesama mereka. Mereka bagaikan satu tubuh; jika salah satu di antara mereka merasakan sakit, penderitaan ataupun kesedihan maka yang lain akan merasakan hal yang sama, tentu dengan manifestasi yang berbeda; bisa dengan membantu meringankan bebannya, menolong penderitaannya, dan lain-lain. Bahkan, yang luar biasa, sikap kasih sayang mereka antarsesamanya menjadikan mereka sanggup mengorbankan kepentingan dan kebutuhan diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Contohnya adalah yang ditunjukkan oleh Ikrimah bin Abu Jahal, Suhail bin ‘Amr, dan sejumlah sahabat Bani al-Mughirah yang telah meninggal dalam Perang Yarmuk akibat dahaga yang luar biasa. Ketika salah satu di antara mereka mempunyai air minum, ia memberikan kepada yang lain yang dipandang lebih membutuhkan; yang menerima air itu pun memberikannya kepada yang lain lagi yang lebih membutuhkan ketimbang dirinya. Demikian seterusnya hingga akhirnya semuanya meninggal tanpa seteguk air pun yang mereka rasakan akibat sikap mengutamakan yang lain.
Kasih sayang sesama Muslim juga ditunjukkan dengan sikap tolong-menolong yang tulus semata karena Allah Swt. Sikap ini tidak harus ditunjukkan dalam wujud bantuan fisik, namun juga bisa non-fisik. Memberi nasihat, misalnya, adalah bentuk tolong-menolong yang bisa diberikan kepada seseorang Muslim kepada Muslim yang lain. Suatu hari, Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Mu‘adz, seraya memegang tangannya:
ياَ مُعَاذَ وَاللهِ اِنِّي لأُحِبُّكَ فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُوْلَ اللهِ وَأَنَا وَالله أُحِبُّكَ قَالَ أُوْصِيْكَ يَا مُعَاذَ لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ اَنْ تَقُوْلُ اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu‘daz, demi Allah, aku mencintaimu.” Mu‘adz pun berkata kepada beliau, “Demi bapak dan ibuku (yang menjadi tebusan) untukmu, wahai Rasulullah, demi Allah, saya juga mencintaimu.” Rasulullah bersabda, “Saya menasihatimu, wahai Mu‘adz, agar kamu tidak menyia-nyiakan setiap selesai shalat untuk membaca:Allâhumma a‘innî ‘alâ dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibâdatika (Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan melakukan ibadah terbaik kepada-Mu). (HR al-Baihaqi dari Mu‘adz).
Inilah wujud kasih sayang sesama Muslim. Mereka juga bagaikan satu tubuh sehingga tidak akan bekerjasama dengan musuh untuk membunuh dan membantai kaum Muslim yang lain. Nabi saw. bersabda:
« وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ »
Mereka bagaikan tangan (satu sama lain saling bekerjasama) terhadap orang lain (musuh) selain mereka. (HR al-Baihaqi).
Inilah kasih sayang sesama Muslim.[]
[1] Lihat, as-Suyuthi, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, Dar ar-Rasyid, Beirut, hlm. 439.
[2] Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz IV, hlm. 204; Asy-Syaukâni, Fathal-Qadîr, juz V, hlm. 55.
[3] Al-Baidhawi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz V, hlm. 209; Asy-Syaukani, Fathal-Qadîr, juz V, hlm. 55.
[4] As-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz II, hlm. 199.
[5] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz XVI, hlm. 292; As-Syawkâni,Fath al-Qadîr, juz V, hlm. 55.
[6] As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr, juz VII, hlm. 543.
[7] As-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz V, hlm. 55. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, sementara pendapat yang menyatakan, bahwa pujian tersebut hanya khusus untuk para sahabat yang menjadi saksi Peristiwa Hudaibiyah adalah pendapat Ibn ‘Abbâs. Lihat: al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, juz XXVI, hlm. 123.
[8] HR Al-Bukhari, Ahmad. Lihat: as-Syaukani, Nayl al-Awthar, juz IV, hlm. 72.
[9] HR Sa‘id bin al-Musayb. Lihat: Abu Ubayd, al-Amwâl, hlm. 613.
[10] Lihat: Yûsuf al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakât, juz II, hlm. 705-706.
[11] Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 402. Lihat juga: al-Qurthubi,al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, juz II, hlm. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar