Assallamu,alaikum.wr.wb
Ketika cahaya tauhid padam di
muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana
tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang
masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak
dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran
langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika
malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai
bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti
kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi
itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan
salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan
orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya
sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus
beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa
rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman.
Allah SWT
berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah
menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir
adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak
seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as.
Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang
dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam
gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu
ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang
luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di selimuti
dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai
oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua
kalinya. Segala sesuatunya tampak jelas kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang
besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting,
"Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya:
"Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu
mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul
Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat
tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia
membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam?
Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti
zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang
dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu
jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan
berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun
pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan
cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air
sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang
mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul
Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia
akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di
situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak
di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat
setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib
merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya
untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai
sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang
dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi
dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang
kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul
Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan
mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat
sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah
seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum
sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan
setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan,
sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang
memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang
diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah
satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil
yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang
ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak
akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang
bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya.
Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan
suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai
senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun
hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan
menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, "Lebih
baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan
menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan
seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya,
pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada
dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi
tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya.
Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah
taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor
unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah
kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka
tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut,
demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah
dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama
Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian
lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor
unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu,
datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya
sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah
berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah,
dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh
seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan
anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik
di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke
rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian
Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda
yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah,
agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut,
yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah
hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan
binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama
istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa
kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan
melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu
adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada
Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan
rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan
terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi
paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan
jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal.
Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar
dan sangat memilukan hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu
sampai ke istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui
jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia
menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya
janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang
hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan
kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang
dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak
yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan
menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat
yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali
orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum
dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu
hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun
kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia
rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa
janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa
ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar
Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu
adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari
kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman, yaitu
pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman
ia membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh
membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di
Mekah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan
ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu
dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi
melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang besar
yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang
besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan
tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana
tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala,
meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan
terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Nabi
Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh
seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak
kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga
ada beberapa orang yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara
tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan
kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh.
Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid
al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil menawan
Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota Taif,
menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar
ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak
berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan
dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka
membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka mengutus
seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh
berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya
sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta dari kaum
Quraisy dan selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua ratus unta
milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang
pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah
menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak,
begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak
memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat yang
sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh
menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka, namun ia datang
hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak menentangnya, maka darah
mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia
menceritakan tentang keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami
tidak ingin memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah
rumah Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia
mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia
membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankannya." Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib
menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat
terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang
mengagumkan. Ketika Abrahahh melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan
kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka
bahwa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di
sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya apa
kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah agar
Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku" Ketika
Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata
kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika
melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya,
apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku
ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan
kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan dia tidak
menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah
pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang
melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya
dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh.
Abrahahh pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi
menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia
memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di
gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab
keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi
Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah
dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada
Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di
tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu
menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya:
"Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa
gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka
emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di
kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan burung.
Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa
ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya
matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang dan
tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah
berteriak di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara
paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang
sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom
atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan
mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan
membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan
yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah
empat belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa
pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa
di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun
mendapatkan luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya
terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad
para pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah
yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagimana
Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan
tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan
kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti daun
yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan
Mekah dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil
melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan
bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa
kaum yang menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai
Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat
itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat
dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai
oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing
yang akan membatasi dakwah. Yang demikian itu karena di sana terdapat rumah
dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya
bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab.
Anak itu belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul
Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian
datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua
rahasia ini.
........BERSAMBUNG........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar