Asallamu'alaikum.wr.wb
Kelanjutan Dari Kisah Nabi Muhammad SAW (Bagian.2)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti
Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin
terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu
kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat
hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para nabi
dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus
kejahatan tersebut.
Dengan
demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian,
bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia
diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan
malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga berlaku
kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT
membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali
dalam kebaikan."
Begitulah
sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa
pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan
dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan
di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit.
Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha
yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima
puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam
Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada
mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada
di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan
bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu
antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan
hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci
hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami
kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian
Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu
merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan
yang belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia
sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil
itu di mana sebagian besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri.
Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang
dewasa.
Berlalulah
hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah
di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan
keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di
Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka
dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad,
tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan
salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara
mereka."
Kemudian
Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup
beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas
kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah pergi,
Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan
Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari
tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah
perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman
dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ
ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan
yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya
terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata
ibunya yang diam.
Selesailah
masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di
pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan
wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama
Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang
ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu.
Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan
ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun.
Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia
mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya
kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah
saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku.
Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah
temanku."
Allah
SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat
memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak
kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu
Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan
padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun,
maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu
kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya
laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita
tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah
Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang
seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi
yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari
sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya
perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat
hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan
Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu
Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa
memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya
yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan
memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah
menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah
SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya
untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah
keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah
dari mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia,
sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah
SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna
ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah
SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya
petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT
melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah
derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah
meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakan
Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya,
bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di
hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad
bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan
para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad
bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka
ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang
berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda;
beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka
matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau
merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu
yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak
dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di
dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari
batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya
terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan
yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal
manusia menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau
mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan
keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh masalah-masalah yang
sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang tentu
kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan
mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan
pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan
sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama
dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa
kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan keluar.
Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang
dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan
kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia.
Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari
dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan
tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak
kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa
kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia
selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu
mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih
sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia
duduk akan makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya
rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang
memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut
suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak
kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam
keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad
saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau
bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi
yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan
bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas
tahun. Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya
semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang
tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada
saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil
itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang
bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di
Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang
menghiasai langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya
awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke
langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung
yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia
setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno.
Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk
menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui
kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka
berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau
hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian
kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari
sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan
tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira
memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang
yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang
seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya
kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir
bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang
tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil."
Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia
supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki
dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami
untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad,
sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku
ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad
bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai
anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu
aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui
sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan
engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu
yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin
Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab:
"Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira
bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut
terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar
bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab
pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa
ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan
oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum
Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke
Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin
ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku.
Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar,
kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib
bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa
menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh
berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa
penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan
kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa
diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah.
Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda
mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi
Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka
tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia
sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta
perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan
diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua
ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya.
Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali
menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian
ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya;
ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang,
dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga
kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya
tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau
datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya,
namun tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh
bahwa ia terkena sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada
tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk
membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka
mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk
berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak
pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat
yang dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan
agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para
pemiliknya. Anda dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta
mereka ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari
demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan
kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang
mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih,
maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai
Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan
selain-Nya.
Muhammad
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para
pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya
minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka
katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya
di suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya
serta kebesaran-Nya.
Pada
tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang
pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh
tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia
berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya dengan
alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang
dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita
yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad
bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang
dagangannya. Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat
beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana
beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya
kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak
peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang
dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw.
Dan Akhirnya, ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga
Muhammad saw pun setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan
perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari
kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun
ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan
hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk
merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya
justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini.
Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat
dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada
saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk
menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT
membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari
Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki.
Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara tampak
lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang. Kemudian
beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap
sadar dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal
yang dalam. Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang
cemerlang yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama
di atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada
sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan
terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa
yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada
di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan
batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di
sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang
bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang
kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau
tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan
praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu
beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau
mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula
lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi
ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan
menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan
kehormatannya.
Pada
suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan
kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya
erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil berkata:
"Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali memeluknya
dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian
malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali
menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia kembali
memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah
saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril
membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara
tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang
pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci
di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin
Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke
gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia
bergetar denga keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau
telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah
yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena
beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan
gemetar. Beliau berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah
aku!" Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan
mengusap keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan
kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah
bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia
tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak
dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah,
Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah
seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan
jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau
ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah
seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup
mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta karena masa
tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan
seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya:
"Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar,
tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu niscaya
aku akan menolongmu."
Demikianlah,
akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT
telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw
sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui
bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan
mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang
dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang
berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni
berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam
bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang
penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek
kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia
berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak
terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau
lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana
saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas
ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap
risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena
itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali
mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk
ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di sana tidak ada
alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat
dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata
"iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah
SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak
pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari
mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta
rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang
tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca.
Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut
kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan
dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam
pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya
perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka
berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi
ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang
paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi,
ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam
wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah
bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah
yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam.
Ketika Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan
simbol-simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog
internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam
untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan
mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka
tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan
Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu
bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari
kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para
tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang
sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku "
berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti
mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga
orang-orang yang salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka
atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran
orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta
memanfaatkan ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka
sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi
kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak.
Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai
berikut:
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS.
adz-Dzariat: 56)
Ibnu
Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek ibadah
dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang
menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini
bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT atau agar ia
mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama sangat
mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk
menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian
jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin
kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali
'Imran: 18)
Setelah
kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah
secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah
penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu
dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam
yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode
eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang
kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode
eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian
terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap
eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk
terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang membutuhkan
kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum
yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca
indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger
Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban
Islam.
Seorang
guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang
dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempclajari
bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang
berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat
menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental
kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu.
Oleh karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab
dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah
pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan
sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui
bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam.
Dan jika dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya
atas Timur kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode
eksperimental, yaitu metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan
kebingungannya serta kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan
metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana
diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai
sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada
materi, dan alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan
melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi
setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada
hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan
kehidupan ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai
hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya
sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya.
Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan
gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha
Pencipta. Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan
bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm:
42)
Ilmu
justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah
SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam
Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain
Allah SWT.
Seruan
ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik
tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek,
berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam tuhan
lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa kalimat
"tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim
di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak
membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan
per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu
pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah
pada kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan
mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan:
kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada
pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk
mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti
bahwa ia harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia
membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang
berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan
buah terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika
tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan
selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut dari kematian,
kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan
terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad
bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah
dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari
menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah
saw memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami,
tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan
menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan
unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari
bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah
saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh
Allah SWT:
"Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril
mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya
sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan
bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok.
Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju
sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang
Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu
kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan
di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang
dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah
SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin,
sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk
mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan
berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk
berusaha mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya
kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad
yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah
jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan
terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa
takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka
bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS.
Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan
kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan
pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud
semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya kepada punggung
orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha untuk menahan
orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting dan lebih
besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah, sedangkan
hal-hal yang bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat
tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di
jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar
berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS.
al-Maidah: 105)
Dan
aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan
menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran
Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan
ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan
mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim.
Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan
tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan
petunjuk."
Demikianlah
pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut
dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan
rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih
mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad
bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat
perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan mempertahankan
kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena
itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah,
lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya
pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong
dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad
bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan
dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah
ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa
tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa
tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus
dengan surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk
berperang, dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim
dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam.
Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana
Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran
atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa
pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau
bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk
saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan
selama empat puluh tahun sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi
yang lemah dan hina itu hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan
Allah SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal
peperangan itu merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus
mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah
esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah.
Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan
yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang
universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit
tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan
kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu dan
kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid
kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan
kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah
salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan aspek
akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar
jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian dan tempat percobaan
bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk menda-patkan
kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru
layak untuk jadi bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman
Allah SWT:
"Yang
bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah
saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan
kematian ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia
adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian
agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru
dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar menusia mengetahui,
danpengetahuan yang paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap
diri. Dan pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia
akan mengenal balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan
barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan
kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi
dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup.
Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya.
Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak
didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu
semuanya adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap
hari akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang
baru dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta
warna keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa
karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun
agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya
lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada
setiap agama terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang
paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan
dan sesuai dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di
tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno.
Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu,
karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh
dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari
tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan
dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun
Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat
yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang
Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari
orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk
melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan
perubahan keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan
bersenjata karena kekuatan orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan
menguasai bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh
adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan
pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh
kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas
imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun
Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk
diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan
hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu,
sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi
sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau
untuk dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur
bagi orang-orang yang memilki perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi,
maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia
menjadi karakter Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan
dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang
menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan dan
pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila
Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang
disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter
Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau
keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya.
Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem
dalam kehidupan dan metode utama dalam Islam.
Ketika
Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan
menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama
yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan
agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir
dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan
dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut
diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya,
Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi.
Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika
kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun darimu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk
golongan orang-orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya
membangun Ka'bah:
"Ya
Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadat haji hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS.
al-Baqarah: 127-128)
Nabi
Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka
adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub.
(Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132)
Ketika
kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan
bertanya kepada mereka:
"Apa
yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha
Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah
SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada
kaumnya:
"Hai
kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja,
jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara
itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang
menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
.......BERSAMBUNG......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar