Asallamu'alaikum. wr.wb
Kelanjutan Dari Kisah Nabi Muhammad SAW (Bagian.4)
Adapun
Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya
untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada
Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan
dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk
dipahami atau diselami kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya
tersebut bukan termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta
beliau melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan
atau ridha. Segala sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah
saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat
perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak
peduli dengan mereka."
Lihatlah
tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau
merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak murka
kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT
dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh
adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling
layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang
Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah
mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati
kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan peranan akal dan hati
secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai macam
mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat ke langit
seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka sebagai bentuk
menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau penyaliban. Mukjizat mereka
saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas mereka di
muka bumi.
Ini
adalah kali pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya
di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke
langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana Allah SWT
memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke
bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang
biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang
pertama melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan
bintang-bintang. Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau astronot
pertama yang mampu menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat
ditembus oleh manusia setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad
saw, namun sejak empat belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus
ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak
al-Muntaha.
Beliau
sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau menembus
alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah
SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas terputusnya
ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah SWT.
Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu
malam. Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam
Al-Qur'an al-Karim. Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan
berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada
waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat
tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu
yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS.
an-Najm: 13-18)
Pada
malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa
kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan kedua air matanya
mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun; beliau tawaf sendirian
lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik memandang beliau dengan
pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat
hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul
Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju Masjidil
Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat tanda-tanda
kebesaran Tuhannya.
Di
suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi
saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam. Jibril turun dan
memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang Nabi dan
ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta. Pandangan Jibril itu membangunkan
Rasul saw kemudian beliau membuka kedua matanya dan bangkit dari tempat
tidurnya.
Jibril
berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin
agar engkau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril
berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan
Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung
garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq.
Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk yang
tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja mencapai
186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan luar
angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan bertanya bagaimana
Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa
lama waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi; kami juga tidak akan
bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran dengan usaha penembusan luar
angkasa ini; kita tidak akan bertanya tentang semua itu karena kita mempunyai
satu jawaban dari semuanya: Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan
untuk itu Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para
ulama beselisih pendapat tentang apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh
saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu
terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan itu berakibat pada
perselisihan akal dan terjerumus dalam perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya
tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini terhadap
sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau logika
kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah seseorang
akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan fisiknya ke
puncak segala puncak di langit kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya
dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat berubahnya air
mani menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air yang
menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat
cinta yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara
itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw
menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya
di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril mengisyaratkan
agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di
tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian Buraq
kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang berjalan
lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat darinya dan ia tidak
berubah dari cahaya.
Nabi
berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan
beliau mendapati semua nabi sedang menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan
gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha.
Para malaikat memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana
yang lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan
meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan
umatmu akan memilih fitrah.
Para
nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di
antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat, apakah
itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw,
sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para nabi.
Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah
orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara
logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya
dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau
membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan
beliau saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi
sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut
bersujud.
Selesailah
waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang
mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama Jibril dan mereka
kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan
ia melewati langit pertama lalu beliau menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada
panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan
menjauh." Kemudian hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang
menjauh ia melampaui langit demi langit. Beliau melampaui tempat materi dan
mulai menjangkau tempat ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di
haribaan Ilahi; beliau semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani
dalam kecepatan yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau
melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi
Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil,
"hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan
Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui
langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam
materi semuanya dan melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul
Muntaha. Beliau sampai di tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan
sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul
Ma'wa. Beliau menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya
bahkan membayangkannya:
"(Muhammad
melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk
(pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh
terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang
misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana
meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT
sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat
yang khusus baginya; itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya
karena ketinggiannya yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian
Tuhan pemilik surga dan neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi
lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi.
Kali ini beliau melihat Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya
dalam keadaan bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud
manusia seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke
dalam wujud malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran
Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan
itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak
dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan
khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan
ruhaninya:
"Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian
Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau
semakin naik ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan
Tuhan Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat.
Orang Muslim yang paling sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta
sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang
baik tertuju hanya kepada Allah SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam
kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah
kepadamu." Para malaikat pun ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan
mengatakan: "Salam kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang
saleh."
Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang
Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari. Salat telah diwajibkan
atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini. Hal populer di kalangan
umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas Nabi mula-mula lima
puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari langit lalu beliau menemui Nabi
Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang
diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT telah
menentukan lima puluh kali salat. Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan
kuat untuk melakukan salat itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah
kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya
sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi
kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya.
Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai diturunkan salat
dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun salat yang lima kali itu pahalanya
sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut
hemat kami, kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang
benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa
orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab
dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya kepada Rasul.
Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan Musa sebagai seorang Nabi yang
mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan atas umatnya sehingga terkesan
Nabi Musa menjadi seseorang yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui
oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan
keyakinan bahwa pertemuan Nabi dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan
kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat berat
baginya untuk kembali lagi.
Nabi
menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak
mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang tidak dapat
dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak mcnyebutkan apa
saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan rahasia antara Nabi dan
Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk
penghormatan kcpadanya. Jadi Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua
untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran
Tuhannya.
Kami
tidak mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan
adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau
menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi
melihat rahasia dan setelah penghormatan yang besar ini, beliau kembali
menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali
dan mendapati tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali
sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya
saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui.
Yang kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya
setelah Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya
dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah
SWT.
Kemudian
datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut
kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga berimanlah
orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya orang-orang yang
mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan
perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya,
datanglah suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah
telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak
mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu
Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi
berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di Mekah. Islam
ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan serangan kaum
musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah
saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab
sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim. Beliau berada di tempat yang
bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw
berkata kepada mereka, "siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami
berasal dari kelompok Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian
termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau
berkata, "maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit
berbicara dengan kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian
mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama
Allah SWT.
Rasulullah
saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam
orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai
dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian
mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena
kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT
mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka
memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan menceritakan kepada kaumnya apa yang
mereka dengar dari Nabi saw dan akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah
Nabi.
Keenam
lelaki itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah
Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT
berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah
dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian
datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari
orang-orang yang beriman yang di antara mereka terdapat enam orang yang
Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw
menemui mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar
mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum
lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh
Islam yaitu Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di
Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada
mereka Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah
Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa
saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw keluar untuk
berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru mendapatkan angin
kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan
terusir di Mekah?
Demikianlah,
pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah
Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan
berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya dalam hati
mereka sehingga hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta
kaum Muslim. Penderitaan yang dialami kaum
Muslim
mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan tidur
dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang
dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela beliau menolongnya dan
melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati mereka
diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala sesuatu untuk dakwah yang
baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab
hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra.
Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama
Nabi dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan
urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu
pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari
kaumnya dan kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung
bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan
melindunginya, maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat
nanti akan mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di
negerinya.
Kata-kata
Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun
penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan
termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul
saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk
Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang
engkau katakan, maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan
Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita
ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini
sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu
Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw
mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi
yang berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar
mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa
tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau
membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara
tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga mereka pun
membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang
yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan
diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk mendapatkan kematian di
bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan
mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan karena mereka
mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah
seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. Abul
Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan Yahudi
terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu,
apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi
orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT menolong Nabi dan memenangkan atas
kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih
sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah
bahwa pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan
agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang
dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan
mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh
orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka
inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di
Madinah.
Nabi
tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa
ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi
darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian
dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai
dengan orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya,
penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang
baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu
mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para
preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil
sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang dari mereka
mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga
beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah
dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga
dari keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari
mereka diberi pedang yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu
ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah
bertanggung jawab terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu
menuntut dan memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat
sebagai tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan
mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap
persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS.
al-Anfal: 30)
Allah
SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan
sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan tersebut bahkan
beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa
seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti
mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah
seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita bantuan kepada orang yang ahli tanpa
memperhatikan keyakinannya.
Kemudian
datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin
Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam tersebut. Datanglah
pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda
Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah
lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk
sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan
berhijrah.
Dengan
langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun
dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka
dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun
Islam, maka ia ditanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah
di jalan Allah SWT. Hijrah Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari
dari kebekuan; hijrah tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari
bahaya. Islam di Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia
keluar ke Madinah ia mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama
beberapa tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang
mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai membawa
senjata dan mulai menyalakan obor peperangan. Islam mulai membawa senjata
sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa
Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya untuk melawan serangan pada
dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya yang pertama
yaitu suatu negara yang belum pernah dikenal di muka bumi negara seperti itu.
Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar
biasa di mana hukum Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar
dijaga.
Inilah
kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah
sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun
masyarakat Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun suatu negara
Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami
kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid ditingkatkan
sementara Islam masih mengalami penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca
lebih pintar daripada orang yang tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun
Rasulullah saw di Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi
masjid merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan
menuju peperangan Islam.
Manusia
mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di kancah
peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di antara mereka
yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah
perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan cara demikianlah
Islam tersebar.
Sementara
itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke
gua itu bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul
beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu
Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah
seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan
tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai
Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi
sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum Rasulullah
saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai dari menenun
rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik
mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di situlah
mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu
mereka melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba. Mereka
mengatakan, seandainya seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat
tenunan laba-laba di atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah
keimanan tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum
musyrik sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu
menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan
sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di
antara mereka yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap
sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan
mendirikan negaranya serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan
Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram disucikan.
Beliau
menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan pernah padam.
Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah di mana
beliau tidak menggunakannya untuk berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga
belas tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat
yang cukup. Semua kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam.
Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban
yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu
memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta
gunung namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun mampu
memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk
menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi
khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya sujud
kepada Allah SWT.
Kemudian
mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup:
bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa memori
dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya dengan membawa risalah di
gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin kebencian
kepadanya, bahkan angin itu membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang
dilemparkan ke wajah suci beliau. Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya
dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta
badai kesengsaraan. "Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT.
Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak sederhana
namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu
banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan kegelapan
dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para penguasa,
uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik dan banyaknya
orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang Nabi pada saat beliau
mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi mengingat kembali
Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi dan apa yang
dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari
hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa
panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat.
Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan
sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu mereka menolongnya; beliau
datang dalam keadaan takut lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam
keadaan lapar lalu mereka memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan
terusir lalu mereka memberikan perlindungan.
Bangunan
Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah
beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali
dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau baru membangun negara.
Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem yang hanya berdasarkan
prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di atas kertas.
Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur final dari nilai apa pun yang
diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil menerapkan pada masa-masa
pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu
sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan
kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw
adalah membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan batu-batu.
Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma. Barangkali ketika turun hujan, maka
tanahnya akan menjadi lumpur karena mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika
angin bertiup dengan kecang, maka ia akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di
bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam yang
tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang lalim dan para penguasa yang
bejat dan mereka mampu mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir
dan terampas. Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak
kecil dan sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu
tidak menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu
orang-orang yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan
perintah harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an
dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa
terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam
Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua
burni adalah masjid namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan
persaudaraan.
Semua
Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan ribuan
kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan itu secara
praktis, yakni ketika karakter masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi
mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad
bin Rabi', seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin
'Auf, seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka
lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu.
Di manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul
Rahman bin 'Auf keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa
sesuatu yang dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih
untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia
tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya dan melaksanakan
pernikahan.
Demikianlah
masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya berdasarkan cinta,
kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu
penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan daging sebagaimana dikatakan
peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup
materi ini dan menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan
katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang muhmin
akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran
bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan
itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya
memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam
bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu
perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk
kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang
Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan mencintai Rasulullah saw
dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai dengan orang-orang
Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim
mencintai makhluk secara keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga,
pasir dan gunung bahkan benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang
Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta
yang dialami oleh Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini
adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang
sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang
ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka
Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah
cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju
kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud
dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi
cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya
kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya.
Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang
Nabi. Beliau adalah cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau
adalah seorang yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau
hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana.
Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan
yang di dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan
hidangan yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang
dicampur dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum
Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika
cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri,
cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan
apa saja yang tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah
kaum Muslim sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi
mereka. Di samping pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan
Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan
dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi
ia merupakan tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan
kaum Muslim dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua
belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim
memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat
sesuatu dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan
hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya.
Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan
diskriminasi tetapi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung
jawab.
Dalam
ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak
ada kebebasan di hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba
untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak
terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena
pintu ijtihad adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu
berarti akan membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang
mati akalnya atau menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan
manusia dari sisi akal dan hati.
"Adalah
untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan
senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar
dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang
Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang
memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka
ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka
membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka
dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar
mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan
menang.
Keluarlah
orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan
mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun
Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat
pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar
Madinah dapat menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut
Islam tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus
memberi kepadanya.
Nabi
mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya bahwa
mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti
yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau
berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin
Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus melakukan peperangan apa pun
hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus dilakukan.
Kemudian
Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri
kalian." Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw
khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang
berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan
memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan
kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu
sehingga engkau sampai di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka
kami akan bertanggung jawab untuk melindungimu."
Mayoritas
pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui
keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui
bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad
bin 'Auf berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya
Rasulullah." Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar
menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar
pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan
beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik
mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun
ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar
meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan
akan mendengarkan apa saja yang beliau katakan serta akan benar-benar menaati
beliau.
Sa'ad
bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan
kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya
engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan
menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di antara kami yang akan
meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut
menetapkan peperangan paling penting dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan
kaum Anshar dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan
perasaan Nabi Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau
wahai Musa bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya
duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw
memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya
niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya
mereka dan kematian mereka dan tak seorang pun yang akan menentang perintah
Rasul saw tersebut.
Akhirnya,
kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat
kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan
tentara Islam. Tempat itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan
Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat
menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah
peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang
penting yang berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah Habab bin Mundzir
kepada Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah tempat yang kita
jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT
dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni
kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang
bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat
perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah
saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu
daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak
tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan
Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil
darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan
oleh pengalaman militer.
Sampailah
pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan
berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada
di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan
kafir terdiri dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan
pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan Muslim terdiri dari
keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari pasukan kafir. Allah SWT
telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu
dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua
dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang.
Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah
persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas
dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut
mereka sembunyikan.
Lalu
'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka
untuk menarik kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai
dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika
kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita
berhadapan dengan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh
anak paman kita, atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak
membiarkannya saja?"
Kalimat
yang rasional tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara
merasa puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada
gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional
itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang
penakut. Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk menetapkan terus
memerangi kaum Muslim.
Pemimpin
pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong.
Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam
perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan
bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa
Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia
berbohong atas Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai
yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi
dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian
datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin
sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik
datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki
persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu
kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan
pedang-pedang mereka tampak mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan
sangat unggul dan kuat. Alhasil, mereka memiliki persiapan yang sangat
mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai orang-orang Muslim tampak sudah
usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka
gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau
tampak sedih melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki,
maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian
rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di
tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah
sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh tanah
perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan hati dan
membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan
Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah
waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan
pasukan Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh
mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian
menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah
ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi
mereka di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian
dari serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini
bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah
yang biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui
bahwa jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara
Muslim. Kaum musyrik dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan
peperangan, dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum
Muslim. Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka,
sedangkan tiap tiga orang Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan
saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai
bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan bukan karena kebesaran
jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru
dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas tentara
dan keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya serta keinginannya
untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan atau kematian dan hasratnya yang
tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara
menjadi makhluk yang tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian
tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara
itu debu-debu berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum
Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan
saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw
menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit dengan
persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam
keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya Allah,
kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah janji-Mu
kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan
disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, bagaimana kesedihan Nabi saat
terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa Nabi saw
meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin
pasukan tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan
saat ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh
Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang
sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi
adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini
dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi
tidak terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau khawatirkan
adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka bumi. Oleh karena
itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada
Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal itu. Kemudian turunlah bala tentara
malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya
bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya
(mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah
itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita
gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah
SWT."
Turunnya
para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira
kepada mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam
peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih
dari sekadar membawa berita gembira dan memberikan dukungan moril serta
memenuhi hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para
malaikat menyaksikan manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah
tauhid.
Demikianlah
Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu,
hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap
pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka
dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu
adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu
orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah
tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan
melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan
tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah
kini terkapar.
Rasulullah
saw berdiri di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai
Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu
Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian
kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku."
Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum
yang sudah mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa
yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab
perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau
kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan
ganimah.
Kaum
Muslim sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula
Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar
berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan
keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari
mereka sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita
terhadap orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada
mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung kita."
Kemudian
Rasulullah saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana
pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku
tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat,
seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku
akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya,
maka ia pun akan memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui
bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
........BERSAMBUNG.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar