Dalam sebuah dialog, saya mendapatkan sebuah cerita yang lucu dan
menggelikan, seseorang yang membuka aibnya sendiri yang sebenarnya bodoh
tentang Al Quran. Dia merasa dengan mempelajari terjemahan Al Quran
sudah bisa menilai Al Quran, tetapi pada akhirnya bagi orang yang
mengetahui ilmunya akan tampak sekali kebodohan yang sedang
diperlihatkannya.
Sang pemfitnah Al Quran menyebutkan QS 19;56 “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”
Kemudian dia memulai aksinya dengan bertanya, mana kisah Nabi Idris di dalam Al Quran..? berarti Al Quran sudah diedit donk.. ada kisah yang hilang, yaitu kisah Nabi Idris. Berarti Nabi Muhammad telah memalsukan AL Quran dengan menghilangkan sebuah kisah yang seharusnya diceritakan tetapi tidak diceritakan, padahal yang memerintahkan untuk bercerita tentang kisah Nabi Idris adalah Tuhan.
Sampai sini, bagi orang2 yang kurang ilmunya akan mengatakan “bener juga yaa..” . inilah yang diinginkan para pemfitnah, agar orang meragukan Al Quran, setelah itu akan dilakukan proses selanjutnya, yaitu pemurtadan.
Baiklah, untuk menjawab itu semua, perlu saya sampaikan beberapa ilmu yang harus diketahui untuk memahami QS 19;56 di atas.
Jika kita belajar Al Quran, sebaiknya belajar juga bahasa aslinya yg menyebutkan itu dan bukan hanya dari terjemahan saja. Silahkan perhatikan bahasa asli dlm Al Quran yg dimaksud QS 19;56
“wadzkur fil kitaabi idriis. Innahuu kaana shiddiiqon nabiyyan.”
Itu berasal dari kata :
wa = dan,
udzkur (berasal dari kata dzakara/dzikra=mengingat/ menyebut)
=ingatlah/sebutlah,
fii=di dalam,
alkitab=Al Quran,
idriis = Idriis, inna=sesungguhnya,
hu=dia (Idris),
shidiqon=orang yg membenarkan,
nabiyyan=nabi.
Kata yang dimasalahkan adalah kata “udzkur” yaitu bentuk kata fi’il amr (kata kerja perintah) yang berasal dari kata kerja “dzakara”, mari kita buka buku kamus bahasa arab makna dari kata dzakara/dzikra, yaitu berarti menyebut/mengingat. Biasa kita juga mendengar kata ayo ber-dzikir, maksudnya adalah ayo menyebut/mengingat Allah secara lisan (menyebut) atau hati (mengingat).
Kata “wa” dan kata “udzkur” (asal kata adalah dzakara) bila digabung menjadi “wadzkur”..
Jadi jika ada dlm terjemahan kata “udzkur” disebutkan dengan kata ceritakan bukan berarti cerita yg panjang2, tetapi cerita yg berarti cukup sekedar menyebut/mengingat ttg nabi Idris.
Apa yg perlu diingat..? dia adalah seorang yg membenarkan (shiddiqon) dan seorang Nabi (Nabiyyan).
Begitu juga telah diceritakan bahwa Idris itu seorang yang sabar dan saleh (QS 21;85-86).
Jadi kata dzakara itu bercerita untuk sekedar mengingatkan, bahwa ada seorang Nabi yg bernama Idris, dia adalah seorang yg membenarkan, orang yg sabar dan orang yg sangat saleh. Itu saja.
Saat kita diperintahkan dzikir pd Allah, kita bukan berarti harus menceritakan Allah secara lengkap, tetapi dengan menyebut subhanallah (Allah Maha Suci) saja sdh disebut dzikra/dzakara/dzikir..
Beda dengan kata haddatsa, yang berarti menceritakan/memberitakan, nah jika menggunakan kata ini maka bisa jadi cerita di sini adalah cerita yg bisa panjang atau krn ada berita yg dibawa.
Jadi, kalo belajar Al Quran seharusnya bukan hanya bisa dari terjemahan saja, tetapi belajarlah dari bahasa aslinya dan maksud dari kata tersebut. Karena kadang dalam terjemahan itu adalah masalah pemilihan “kata” saja untuk mewakili kata yang diterjemahkan, akan tetapi untuk mengetahui maksud “kata” tersebut, ya belajar dari aslinya dan juga tafsir.
Itulah bedanya terjemahan dan tafsir.. Ok..?
Untuk tambahan ilmu saja, akan saya tambahkan beberapa ayat yang menggunakan kata “wadzkur” sama seperti QS 19;56 di atas :
QS 76;25 : “wadzkur ismu robbika bukrotan wa ashiilan” (dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang)
QS 7;205 : “wadzkur robbaka fii nafsika tadhorru’an wa khiyfatan..” (dan sebutlah Tuhanmu di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut..”
QS 33; 41 : “ yaa ayyuhalladziina aamanuu, udzkurullooha dzikron katsiiron” (wahai orang2 yg beriman berdzikirlah/sebutlah Allah dengan dzikir yg banyak)
QS 33;41 tidak menggunakan kata “wadzkur” krn di depan tidak menggunakan kata “wa”, jadi langsung “udzkuru” (sebutlah/berdzikirlah).
Jika di depan kata udzkuruu (seperti QS 76;25 dan QS 7;205) ada tambahan kata “wa” maka akan menjadi “wadzkur”, krn asal katanya sama, yaitu “udzkur” yg merupakan fi’il amr (kata kerja perintah) dari asal kata kerja “dzakara” (mengingat/menyebut)..
perubahan dari kata kerja biasa menjadi kata kerja perintah dalam hal ini yaitu dari kata “dzakara” menjadi “udzkur”, dan jika di depan kata “udzkur” ada kata “wa” maka menjadi “wadzkur”..
Dalam QS 33;41 di depan kata udzkuru ada kalimat “yaa ayyuhalladziina aamanu”, maka jika mau dibaca dengan cara disambung akan berbunyi “yaa ayyuhalladziina aamanudzkuru..”
Nah, penting bukan belajar bahasa arab untuk mengetahui isi pesan yg sebenarnya di dalam Al Quran..? jadi bukan asal comot terjemahan terus merasa bisa memahami Al Quran, krn terjemahan hanya masalah pemilihan kata saja, padahal kadang kata yg dipilih belum tentu bisa mewakili kata yg diterjemahkan 100%. Oleh karena itu dibutuhkanlah yg namanya ilmu tafsir untuk Al Quran..
Jadi, perintah berdzikir kepada Allah menggunakan kata “wadzkur” juga seperti dlm QS 19;56 yg menggunakan kata “wadzkur”. Jika Nabi Idris sudah disebut dan diingat bahwa beliau adalah seorang sebagai Nabi, sebagai orang yg membenarkan (ke-esa-an Tuhan), sebagai orang yg sabar dan sebagai orang yang shalih, maka sudah memenuhi unsur “dzakara” atau “wadzkur”.
Bukankah dlm Islam, jika hanya menyebut subhanallah (Allah Maha Suci) saja sudah disebut ber-dzikir (dzakara)..? menyebut laa ilaaha illallah itu sdh disebut ber-dzikir(dzakara)..? menyebut yaa arrahiim (wahai yang Maha Pengasih) sudah disebut ber-dzikir (dzakara).. dst.. dst..
Maka jika dengan sekedar menyebut “subhanallah” sebuah kalimat yg pendek saja sudah memenuhi perintah “wadzkur” tentunya begitu juga dengan menyebut dan mengingatkan adanya Nabi bernama Idris dan beliau orang yg membenarkan, orang yg sabar, orang yang shalih, itu sudah memenuhi perintah “wadzkur” juga.. Jelas bukan..?! mudah bukan..?!
Sang pemfitnah Al Quran menyebutkan QS 19;56 “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”
Kemudian dia memulai aksinya dengan bertanya, mana kisah Nabi Idris di dalam Al Quran..? berarti Al Quran sudah diedit donk.. ada kisah yang hilang, yaitu kisah Nabi Idris. Berarti Nabi Muhammad telah memalsukan AL Quran dengan menghilangkan sebuah kisah yang seharusnya diceritakan tetapi tidak diceritakan, padahal yang memerintahkan untuk bercerita tentang kisah Nabi Idris adalah Tuhan.
Sampai sini, bagi orang2 yang kurang ilmunya akan mengatakan “bener juga yaa..” . inilah yang diinginkan para pemfitnah, agar orang meragukan Al Quran, setelah itu akan dilakukan proses selanjutnya, yaitu pemurtadan.
Baiklah, untuk menjawab itu semua, perlu saya sampaikan beberapa ilmu yang harus diketahui untuk memahami QS 19;56 di atas.
Jika kita belajar Al Quran, sebaiknya belajar juga bahasa aslinya yg menyebutkan itu dan bukan hanya dari terjemahan saja. Silahkan perhatikan bahasa asli dlm Al Quran yg dimaksud QS 19;56
“wadzkur fil kitaabi idriis. Innahuu kaana shiddiiqon nabiyyan.”
Itu berasal dari kata :
wa = dan,
udzkur (berasal dari kata dzakara/dzikra=mengingat/ menyebut)
=ingatlah/sebutlah,
fii=di dalam,
alkitab=Al Quran,
idriis = Idriis, inna=sesungguhnya,
hu=dia (Idris),
shidiqon=orang yg membenarkan,
nabiyyan=nabi.
Kata yang dimasalahkan adalah kata “udzkur” yaitu bentuk kata fi’il amr (kata kerja perintah) yang berasal dari kata kerja “dzakara”, mari kita buka buku kamus bahasa arab makna dari kata dzakara/dzikra, yaitu berarti menyebut/mengingat. Biasa kita juga mendengar kata ayo ber-dzikir, maksudnya adalah ayo menyebut/mengingat Allah secara lisan (menyebut) atau hati (mengingat).
Kata “wa” dan kata “udzkur” (asal kata adalah dzakara) bila digabung menjadi “wadzkur”..
Jadi jika ada dlm terjemahan kata “udzkur” disebutkan dengan kata ceritakan bukan berarti cerita yg panjang2, tetapi cerita yg berarti cukup sekedar menyebut/mengingat ttg nabi Idris.
Apa yg perlu diingat..? dia adalah seorang yg membenarkan (shiddiqon) dan seorang Nabi (Nabiyyan).
Begitu juga telah diceritakan bahwa Idris itu seorang yang sabar dan saleh (QS 21;85-86).
Jadi kata dzakara itu bercerita untuk sekedar mengingatkan, bahwa ada seorang Nabi yg bernama Idris, dia adalah seorang yg membenarkan, orang yg sabar dan orang yg sangat saleh. Itu saja.
Saat kita diperintahkan dzikir pd Allah, kita bukan berarti harus menceritakan Allah secara lengkap, tetapi dengan menyebut subhanallah (Allah Maha Suci) saja sdh disebut dzikra/dzakara/dzikir..
Beda dengan kata haddatsa, yang berarti menceritakan/memberitakan, nah jika menggunakan kata ini maka bisa jadi cerita di sini adalah cerita yg bisa panjang atau krn ada berita yg dibawa.
Jadi, kalo belajar Al Quran seharusnya bukan hanya bisa dari terjemahan saja, tetapi belajarlah dari bahasa aslinya dan maksud dari kata tersebut. Karena kadang dalam terjemahan itu adalah masalah pemilihan “kata” saja untuk mewakili kata yang diterjemahkan, akan tetapi untuk mengetahui maksud “kata” tersebut, ya belajar dari aslinya dan juga tafsir.
Itulah bedanya terjemahan dan tafsir.. Ok..?
Untuk tambahan ilmu saja, akan saya tambahkan beberapa ayat yang menggunakan kata “wadzkur” sama seperti QS 19;56 di atas :
QS 76;25 : “wadzkur ismu robbika bukrotan wa ashiilan” (dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang)
QS 7;205 : “wadzkur robbaka fii nafsika tadhorru’an wa khiyfatan..” (dan sebutlah Tuhanmu di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut..”
QS 33; 41 : “ yaa ayyuhalladziina aamanuu, udzkurullooha dzikron katsiiron” (wahai orang2 yg beriman berdzikirlah/sebutlah Allah dengan dzikir yg banyak)
QS 33;41 tidak menggunakan kata “wadzkur” krn di depan tidak menggunakan kata “wa”, jadi langsung “udzkuru” (sebutlah/berdzikirlah).
Jika di depan kata udzkuruu (seperti QS 76;25 dan QS 7;205) ada tambahan kata “wa” maka akan menjadi “wadzkur”, krn asal katanya sama, yaitu “udzkur” yg merupakan fi’il amr (kata kerja perintah) dari asal kata kerja “dzakara” (mengingat/menyebut)..
perubahan dari kata kerja biasa menjadi kata kerja perintah dalam hal ini yaitu dari kata “dzakara” menjadi “udzkur”, dan jika di depan kata “udzkur” ada kata “wa” maka menjadi “wadzkur”..
Dalam QS 33;41 di depan kata udzkuru ada kalimat “yaa ayyuhalladziina aamanu”, maka jika mau dibaca dengan cara disambung akan berbunyi “yaa ayyuhalladziina aamanudzkuru..”
Nah, penting bukan belajar bahasa arab untuk mengetahui isi pesan yg sebenarnya di dalam Al Quran..? jadi bukan asal comot terjemahan terus merasa bisa memahami Al Quran, krn terjemahan hanya masalah pemilihan kata saja, padahal kadang kata yg dipilih belum tentu bisa mewakili kata yg diterjemahkan 100%. Oleh karena itu dibutuhkanlah yg namanya ilmu tafsir untuk Al Quran..
Jadi, perintah berdzikir kepada Allah menggunakan kata “wadzkur” juga seperti dlm QS 19;56 yg menggunakan kata “wadzkur”. Jika Nabi Idris sudah disebut dan diingat bahwa beliau adalah seorang sebagai Nabi, sebagai orang yg membenarkan (ke-esa-an Tuhan), sebagai orang yg sabar dan sebagai orang yang shalih, maka sudah memenuhi unsur “dzakara” atau “wadzkur”.
Bukankah dlm Islam, jika hanya menyebut subhanallah (Allah Maha Suci) saja sudah disebut ber-dzikir (dzakara)..? menyebut laa ilaaha illallah itu sdh disebut ber-dzikir(dzakara)..? menyebut yaa arrahiim (wahai yang Maha Pengasih) sudah disebut ber-dzikir (dzakara).. dst.. dst..
Maka jika dengan sekedar menyebut “subhanallah” sebuah kalimat yg pendek saja sudah memenuhi perintah “wadzkur” tentunya begitu juga dengan menyebut dan mengingatkan adanya Nabi bernama Idris dan beliau orang yg membenarkan, orang yg sabar, orang yang shalih, itu sudah memenuhi perintah “wadzkur” juga.. Jelas bukan..?! mudah bukan..?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar