Asallamu'alaikum wr.wb
Kita akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang
dimiliki oleh Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat pertahanan beliau
pun sangat unggul. Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw
menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar biasa. Sistem pertahanan
yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu
menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari pertempuran
militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju besinya, dan beliau kembali
membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju
besinya dan kembali berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di
sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi
kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf dengan
cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an al-Karim
dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan
yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman
dan pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana
salah seorang mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain
berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu dimanfaatkan
oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai
memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin
membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur
oleh Islam, Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh
mereka telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita
telah kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik
itu kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi provokasi terhadap orang-orang
Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah
belah dan agar kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada
Rasul saw dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara
lahiriah membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid
bin Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi dari
Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau
mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak
biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai
waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian
yang singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si
Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar
persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah
rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan yang
menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai
penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah
istri beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk
memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi
hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui.
Ketika Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali
mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang
membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka
tidak ragu dalam hal itu karena memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa tandu,
sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati
pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan
yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang
gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya di mana di situlah
untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil berkata dalam
dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena itu mereka akan
kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin Mu'athal juga
tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan dari arah yang jauh
lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat dan
tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat
Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri
Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah
SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan untanya kepadanya
sambil berkata: "Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun menaikinya.
Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang telah
meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat
mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika
Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah bin Ubai segera
memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah bohong yang terkesan menuduh
istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa
sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di antara
mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika tersebar
kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik itu berhasil
menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di antaranya Hasan bin
Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu
saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu
tertipu dengan kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga
orang-orang yang terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu,
Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut
bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu
termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu
juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan akidah
yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang kesucian rumah
tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit,
namun ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian
Rasulullah saw mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun
mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu Aisyah.
Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di hadapan Aisyah. Namun
sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi menunjukkan perhatiannya seperti
biasanya saat Aisyah sakit. Ketika beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya
ada di situ, beliau berkata: "Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak
lebih dari mengucapkan kata-kata itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap
Rasul saw, ia mulai marah. Pada suatu hari ia berkata pada Nabi:
"Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan pindah ke tempat
ibuku." Beliau menjawab: "Itu tidak ada masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak
mengetahui sama sekali apa yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui
lebih dari dua puluh malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum
mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah
menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah
SWT membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami tidak
mengambil di rumah kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh orang-orang
Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan kota. Sementara
itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka. Pada
suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian
keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita
wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia
memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku
berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu
memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis sampai-sampai
aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan aku berkata kepada
ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak orang berbicara tentangku
namun engkau tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai
anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali wanita yang baik yang dicintai oleh
seorang lelaki yang jika ia memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali
wanita itu akan diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah saw berdiri dan
menyampaikan pembicaraannya pada mereka dan aku tidak mengetahui hal itu."
Beliau memuji Allah SWT kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana
keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka
mengatakan sesuatu yang tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka
kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang
aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi
Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya
melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu
kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan,"
sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat
kau percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya
kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil
berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata:
"Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah
mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti lalu
aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah
kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah berkata: "Kemudian datanglah kepadaku
Rasulullah saw dan saat tu aku bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita
dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah
saw duduk lalu memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu
telah mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka
bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan keburukan seperti
yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada Allah SWT karena
sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya." Aisyah
berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang dialamatkan
kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali tidak seperti yang
mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku untuk mengatakan
tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah berkata, "demi Allah
aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak layak diturunkan Al-Qur'an dari
Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya berharap agar Nabi saw melihat
kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu sehingga ia memastikan terbebasnya aku
darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku tidak melihat
kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada mereka tidakkah kalian menjawab
apa yang dikatakan Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi Allah kami
tidak mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa aku
bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat dari
wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena sesungguhnya
Allah SWT telah menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan itu,"
lalu aku berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian beliau
keluar menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang
besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan
terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dan gagallah
peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw,
dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus menggunakan cara baru
lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw kembali memasuki pergulatan
menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq termasuk contoh peperangan fisik
yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan
mereka kepada kaum musyrik, dan Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah
di antara tokoh-tokoh Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan
pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan dengan
penyembahan berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan hanya
layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik
daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil menyatukan
kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim.
Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu
tentara. Akhirnya, berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika
mendengar orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang
menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi saw
mengetahui bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga
hati mereka menjadi keras dan hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber
yang jernih yang dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang
rusak yang kulitnya bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik.
Dan yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan
kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau sekarang
menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka tidak
memberi keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara
mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya
berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta
menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti perbedaan
ancaman itu.
Kemudian beliau mengadakan pertemuan militer
bersama para tentaranya. Beliau ingin mendengar berbagai usulan tentang
bagaimana cara mempertahankan Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar
Nabi menggali suatu parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang
seperti bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat
mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak
mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu.
Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi
cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat melaluinya.
Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah.
Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu musim dingin di mana udara sangat
dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang
mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan,
bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat yang luar biasa dapat
menyelesaikan penggalian parit itu meskipun kehidupan sangat keras dan mereka
merasakan kelaparan karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan Islam tetap
meninggi. Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat
golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: 'lnilah yang dijanjikan
Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan."
(QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai mendekati Madinah dan
tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di tengah-tengah lautan
kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan berusaha menenggelamkannya
dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau
pasukan kafir yang cukup banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di
sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang telah dilakukan
pasukan Islam, bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu namun
pasukan Muslim segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus
berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh
mengepung Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus
dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan
saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah
pasukan musuh berhasil menduduki Madinah atau tidak, dan apakah para musuh
berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan
peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha mereka datang kepadamu dari
atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu
naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana orang-orang Yahudi
membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan mereka bergabung dengan
al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa
terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka.
Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar mengalami ujian yang
berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai
puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka
katakan?" Rasulullah saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya
Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang
telah melaksanakan kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam
menghalau serangan. Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan Allah
SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya.
Dia mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan orang
yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar mendapatkan
rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang
tidak bisa dipahami. Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya telah
kalah di mana mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut
tidak memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun
tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini
selama tiga tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana kaum
Muslim belum pernah melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan
saking kerasnya angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking
gelapnya malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang mampu
melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya
cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu
melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw bertanya:
"Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi
saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di tempatnya
karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena saking dinginnya
dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada Hudaifah, "Aku
kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang menyerang kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari pasukan Islam
merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin,
lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat
pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada Nabi
saw dengan membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya
ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan
kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan kegelapan
malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan menyusup di
tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk tidak melakukan
tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya.
Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun
angin segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu terdapat seorang
lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud
untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu
Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang anak panah
pada busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil
membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia ingat
pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun.
Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata: "Wahai orang-orang
Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian
karena aku pun akan pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu
mendudukinya dan memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah saw dengan
membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan mereka. Ketika
mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw berkata:
"Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang
kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan tangan hampa
sehingga beliau keluar dari Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi
Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka
bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena itu,
mereka harus membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat tidak
melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa
perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum
matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit lalu
mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad
adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi
Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat
memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap
sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di
kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia
bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan
orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka.
Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba
waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa
peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki
dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh
engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh
langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan, permohonan,
harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu
genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani
Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan
berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya.
Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun
dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah.
Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya
adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw
berjalan untuk melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar
bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul
Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran
kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak mau
melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu
malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat
yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy
membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi
niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat agar tetap
tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka
dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan
Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat
memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim.
Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka
bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah
sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan
rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum
Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki
Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu Rasul
saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang
intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw
menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian
tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik
kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum
Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun dari kalangan
sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya beliau bersikap
demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik dan
bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa
berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan
beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah
saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT?
Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi
saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali
bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?"
Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita
harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat
perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap
mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan para
sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di mana
beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak
mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan
aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku
lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa perjanjian yang
menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru membawa
kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw
yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan
semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki
Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai
pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan
masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi
kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan
kemenangan yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum
Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari
pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku
tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw
berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala
utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang
mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini adalah
perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr."
Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya
aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan
memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada
Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang kedua dan
dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw
ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap
saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis
bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk
menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah masing-masing
mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di
antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada
Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada
kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw,
maka tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim.
Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat
perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw
pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun
depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk
melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus
meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan
membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi
suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak
dari juru runding Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk
Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera
bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada kaumnya.
Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim
agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak
mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya
untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah SWT akan
menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan.
Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum
Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah
dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian antara
pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian
itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan
kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke
Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau
mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim yang tampak
membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta dan memanggil
tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak berbicara dengan
seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan
telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka mereka bangkit untuk
menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa perundingan
tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa
kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai
runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap
sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam,
maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum
Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil menarik
orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua
tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin
bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul
saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun
ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan
sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari
perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah
dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar
sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya
merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan
kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka
hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya,
dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka
hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di
dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum
Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri
di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy
mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi
orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang
terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat
yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas.
Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata rantai
pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang pribadi
sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri.
Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan pribadi
yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam.
Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang
istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara
mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri jika seorang
Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba
untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka
manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui
bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat
beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah
mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di
atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan
beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih
sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT
semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia
merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan
perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan
usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan
Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah
SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah
dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi
berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah
kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau
dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah
pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang
terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah
dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan
nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya
sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan
Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan
tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan
tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya
jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan
meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya
agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid
agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan
apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya
tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin
dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem
adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi
Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu
bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan
oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab:
37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur politik
dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai
yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah
binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah
bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran
dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian
dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam dan
hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw
tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia
telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur
Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya.
Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau
mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah
tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau
tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang
raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah
Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum
muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi
tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan
mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut
terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap
aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum
Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu
sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan
aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari
orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali
kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela.
Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya
kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang
diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk hukum
bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul
kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw yang
bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup
lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi
dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria
adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari
sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa
Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal.
Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk
merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada
orang yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi
yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan
kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan
tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti
keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk
meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi
meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau
telah menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat
yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap menjadi istri
beliau atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada
istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di rumah kenabian dengan penuh
kesederhanaan atau menerima perceraian. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu:
'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah
supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang
berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah. Demikianlah pergulatan di
rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud dan
bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia. Permintaan istri-istri nabi
tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan teladan
bagi seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga
beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang yang
memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah membalas pengorbanan
istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan
mereka sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan terhadap keibuan spiritual
ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang
tidak diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw
melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa di
mana beliau ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak
Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir
Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir
Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan
beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam,
dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk
mengikuti Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya
untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan
surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada yang berusaha menyampaikan kepada
pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan hadiah, dan di
antara mereka ada yang merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada yang
membalas surat itu dengan jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang
menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah
padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan
Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah
SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT menyempurnakan agama bagi
kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji wada' (haji yang terakhir) dan
turunlah kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga
ia menangis. Allah SWT merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi
Rasul-Nya. Aisyah berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di
luar rumah: "Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang sakit."
Anak-anak itu pun terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada
hari-hari terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka
sebagaimana yang biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh
menyelimuti Nabi saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman hingga
wajahnya laksana lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam rumahnya
dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya. Beliau
memasuki rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu
Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan
beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan tangannya di atas
kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena saking hebatnya demam. Aisyah
berkata dalam keadaan kedua matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan
ibuku, ya Rasulullah apakah engkau merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum
untuk menenangkan Aisyah lalu beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam
memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan
membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama
dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh
tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT dan
Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan penuh
kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan
akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi
mulia dan benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat
tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan melihat
wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan
sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan
beliau kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri. Apa gerangan yang
menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang
berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual melayang-layang
dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy ketika
membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu
bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka membunuh semua sekutu kaum
Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan bersama pasukan yang berjumlah
sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap, dan tentara Muslim turun dari
gunung Mekah laksana air bah yang tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah
masa para pembawa tombak, panah, dan pedang; telah lewatiah masa di mana
Rasulullah saw memimpim pasukan yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan
Anshar. Di tengah-tengah pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan
Mekah, Nabi saw menunggangi untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan
penuh rendah diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh
punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut mereka
menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw
memasuki Baitul Haram lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau
menghancurkan berbagai patung yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau
memukulnya dengan kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur.
Setelah beliau membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya
sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak,
beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan mengajak mereka
untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu salat, lalu Bilal naik
di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan
panggilan baru ini di mana gemanya berputar-putar di antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah
melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan
selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan kehormatannya
dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam
memorinya: itulah peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan
ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang
bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah untuk
memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan segalanya
untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi Allah,
Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan ke arah
Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang marah. Rasul saw
bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes saat
engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh orang Arab namun
mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada Sa'ad
bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai Sa'ad?" Sa'ad
berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku." Rasulullah
saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini
dan jika kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia
memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar
menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan
kemudian berkata: "Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada
kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk
kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah SWT
memampukan kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT
menyatukan hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah
saw berkata: "Mengapa kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?"
Mereka berkata: "Apa yang kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan
apa kita akan menjawabnya. Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan
Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi Allah,
seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan benar apa yang kalian
katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir, maka kami
melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu dan
engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau
datang dalam keadaan teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata:
"Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah
saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta
yang telah aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap
dalam hati mereka dan kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT
berikan kepada kalian dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum
Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim
dingin sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku
di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui
jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah,
rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar doa itu, kaum tersebut menanggis
sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air mata dan mereka berkata:
"Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat puas dengan pembagian
Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun meninggalkan mereka dan mereka
pergi dalam keadaan puas. Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki
di dunia adalah seorang yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk
mengambil. Nabi saw terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar.
Suhu tubuh beliau meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan
meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk mendinginkan
tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau
berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu cukup lambat dan
berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar